BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Pemerintah
daerah sejak Era reformasi telah mendapatkan satu tanggung jawab lebih besae
dari msa sebelumnya untuk mengatur urusan daerah, hal itu dimungkinkan dengan
adanya upaya dari pemerintah pusat untuk mengimplikasikan makna desentralisasi
sebagaimana diamanatkan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Sesuai
dengan Pasal 6 ayat (1) dan (2) UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah, daerah yang tidak mampu menyelenggarakan Otonomi Daerah dapat dihapus
dan digabung dengan daerah lain, dan Daerah Otonom dapat dimekarkan menjadi
lebih dari satu daerah jika dipandang sesuai dengan perkembangan daerah.
Munculnya gejala, bahkan kenyataan akan adanya pemekaran dan pembentukan
Kabupaten, Kota, dan Propinsi baru di Indonesia menuntut perlunya segera
ditetapkan syarat-syarat dan kriteria yang menjadi pertimbangan di dalam
pembentukan dan pemekaran daerah.
Desentralisasi dinilai menjadi antitesis dari ajaran dalam
pengelolahan pemerintahan, sebagai sebuah konsep penyelenggaraan pemerintahan,
desentralisasi menjadi pilihan akibat ketidakmungkinan sebuah negara dengan
wilayah yang luas dan berpenduduk banyak untuk mengelola manajemen pemerintah
secara sentralistik[1].
Penerapan sistem desentralisasi dengan seiring jalannya waktu
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintah daerah dinilai sangat
lemah dari segi kebijakan dan implementasi, sehingga akhirnya pemerintah
merevisi Undang-undang tersebut, menjadi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah, dalam undang-undang, in pula diatur mengenai
pemelihan Kepala Daerah secara langsung, hingga saat ini regulasi terkait
mengenai pemilihan daerah telah melalui
beberapa kali perubahan meskipun perubahan tersebut bersifat persial, perubahan
yang terakhir adala Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 perubahan kedua atas
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah.
Terlepas dari semua problematika yang ada dan memberikan warna
dari mulai peraturan hingga kebijakan. Peraturan pemerintah daerah sejak, masa
awal reformasi membuat geliat daerah semakin aktif, daerah-daerah yang paling
pada masa orde baru terbikiri karena system sentralisasi kini mulai bergarak
untuk mendapatkan hak-haknya, dengan menggunakan aksi yang paling riil
menggunakan ‘senjata’ otonomi daerah, menuntut pemerintah pusat memberikan
sepenuhnaya kewenangan untuk mengurusi daerahnya sendiri. Hingga yang paling
kliamks adalah masyarakat yang menuntut pemerintah merestui pemekaran daerah
untuk melakukan pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB).
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
uraian latar belakang masalah di atas, meka penyusun merumuskan pokok masalah,
yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimana
tata cara pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB)?
2. Kenapa
ada tuntuntan pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB)?
1.3.
Tujuan Masalah
1. Untuk jawaban Ujian Akhir Semester.
2. Untuk Mengetahui tata cara pembentukan Daerah Otonom Baru.
3. Untuk Mengetahui tuntutan dalam pembentukan Daerah Otonom Baru.
1.4.
Kerangka Teoritik
1.
Teori Otonomi Daerah
Menurut
Bagir Manan, otonomi daerah mempunyai dua arti pertama, dalam arti formal otonomi daerah diperlukan dalam rangka
memperluas partisipasi masyarakat dalam pemerintahan. Kedua, dalam arti materiil otonomi daerah mengandung makna sebagai
usaha mewujudakan kesejahteraan yang bersanding dengan prinsip Negara
kesejahteraan dan system pemencaran kekuasaan menurut dasar Negara berdasarkan
atas hukum[2].
Menurut pasal 1 ayat (5) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004.
Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.[3]
Prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan
kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi
urusan pemerintah. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk
memberi pelayanan, peningkatan, peran serta, prakarsa, dan pemberdaya
masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakat.[4]
Sedangkan, tujuan otonomi daerah adalah mencapai efektifitas dan
efesiensi dalam peleyanan masyarakat sehingga tujuan yang diharapkan dapat
menumbuhkembangkan daerah dalam berbagai bidang, meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat, menumbuhkan kemandirian daerah dan meningkatkan daya saing daerah
dalam proses pertumbuhan.[5]
2. Teori
Pembentukan Daerah
a. Pembentukan
Daerah di Indonesia
Indonesia merupakan
Negara yang menganut bentuk Negara kesatuan. Menurut C.F. Strong Negara
kesatuan ialah berbentuk Negara dimana wewenang legislatif tertinggi dipusatkan
dalam satu badan legislatif nasional/pusat. Kekuasaan terletak pada
pemerintahan pusat dan tidak pada pemerintahan daerah.
Miriam
Budirdjo, berpendapat bahwa pemerintah pusat mempunyai wewenang untuk
menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada daerah berdasarkan hak otonomi (Negara
kesatuan dengan system desentralisasi).[6]
b. Desentalisasi
Dalam
Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah pasal 1
disebutkan bahwa desantralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan dalam
kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus pemerintahan dalam system
Negara Kesatuan Republik Indonesia.[7]
c. Pengembangan
Wilayah
Polarization
effect dan Trickle
down effect. Teori tersebut mengungkapkan pendapat bahwa perkembangan suatu
wilayah tidak terjadi secara bersamaan. Dalam teori ini terdapat system
polarisasi perkembangan suatu wilayah yang kemudian akan memberikan efek ke
wialayah berkembang ke wilayah lainnya, atau dengan kata lain, suatu wilayah
yang berkembang akan membuat wilayah di sekitarnya akan ikut berkembang.[8]
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1. Tata Cara Pembentukan Daerah Otonom
Baru
Dilihat dari segi regulasi, pemekaran
daerah diberi peluang oleh pemerintahan Orde Baru dan pasca Orde Baru.
Perbedaannya terletak pada proses pengusulan pemekaran. Di masa Orde Baru
pemerintah pusat mempunyai peran yang besar untuk menyiapkan pembentukan daerah
otonom (dari ibu kota Kecamatan, menjadi Kota Administratif lalu Kota Madya)
dan menginisiasi pembentukannya. Di masa pasca Orde Baru, regulasi yang ada
menekankan pada usulan daerah untuk memekarkan diri dalam rangka membentuk
daerah otonom baru. Namun pun demikian, regulasi yang ada berusaha untuk
menyaring usulan pemekaran dengan mempertimbangkan kapasitas daerah yang akan
dibentuk. Selain itu, bukan hanya pemekaran yang dimungkinkan. Tetapi
penggabungan beberapa daerah menjadi satu daerah otonompun diberi peluang.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya ditulis UU Pemda), pembentukan
daerah pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan pelayanan publik guna
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Pembentukan daerah dapat
berupa pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih, atau
penggabungan bagian daerah yang bersandingan, atau penggabungan beberapa
daerah.[9]
Pemekaran daerah adalah pemecahan provinsi atau kabupaten/kota menjadi dua
daerah atau lebih. Sementara dalam prakteknya sampai dengan tahun 2008,
Indonesia belum pernah mempunyai pengalaman penggabungan daerah. Sebelumnya, tata cara pembentukan, penghapusan,
dan penggabungan daerah yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun
2000 diganti Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara
Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah (selanjutnya ditulis PP
78/07). Dalam PP 78/07 mengatur mengenai proses pembentukan daerah yang
didasari pada 3 (tiga) persyaratan, yakni administratif, teknis, dan fisik
kewilayahan.[10]
1.
Persyaratan administratif didasarkan
atas aspirasi sebagian besar masyarakat.
2.
Persyaratan secara teknis didasarkan pada
faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik,
kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, dan faktor lain yang
memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Adapun faktor lain tersebut
meliputi pertimbangan kemampuan keuangan, tingkat kesejahteraan masyarakat, dan
rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan.
3.
Persyaratan fisik kewilayahan dalam
pembentukan daerah meliputi cakupan wilayah, lokasi calon ibukota, sarana, dan
prasarana pemerintahan. Syarat fisik yang dimaksud harus meliputi paling
sedikit lima kabupaten/kota untuk pembentukan provinsi dan paling sedikit lima
kecamatan untuk pembentukan kabupaten, dan empat kecamatan untuk pembentukan
kota.[11]
Dengan
persyaratan dimaksud diharapkan agar daerah yang baru dibentuk dapat tumbuh,
berkembang dan mampu menyelenggarakan otonomi daerah dalam rangka meningkatkan
pelayanan publik yang optimal guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan
masyarakat dan dalam memperkokoh keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam pembentukan daerah, tidak boleh mengakibatkan daerah induk menjadi tidak
mampu menyelenggarakan otonomi. daerah, sehingga tujuan pembentukan daerah
dapat terwujud dengan dilengkapi dengan kajian .
Dalam bukunya Rozali
Abdullah[12],
menyatakan bahwa syarat-syarat pembentukan daerah terdiri dari syarat
administratif, teknis dan fisik. Syarat administratif untuk pembentukan
provinsi meliputi:
1.
persetujuan dari DPRD Kabupaten/kota dan
bupati/wali kota yang akan menjadi cakupan wilayah provinsi;
2.
Persetujuan DPRD dan Gubernur provinsi
induk;
3.
Rekomendasi Menteri Dalam Negeri.
Sementara
itu, syarat administrasi untuk Kabupaten/kota meliputi adanya;
1.
Persetujuan dari DPRD Kabupaten/kota dan
bupati/wali kota yang bersangkutan;
2.
Persetujuan DPRD provinsi dan Gubernur;
3.
Rekomendasi Menteri Dalam Negeri.
Syarat
teknis meliputi faktor yang menjadi dasar pembentukan daerah yang mencakup
faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, social, olitik,
kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, dan faktor lain yang
memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Syarat fisik meliputi:
1.
paling sedikit lima Kabupaten/kota untuk
pembentukan Kabupaten kota;
2.
Paling sedikit lima kecamatan untuk
pembentukan Kabupaten;
3.
paling sedikit empat kecamatan untuk
pembentukan kota;
4.
lokasi calon kota, sarana prasarana
pemerintah.
2.1. Tuntuntan Pembentukan Daerah Otonom
Baru
Karena
didalam Pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa negara Republikndonesia adalah
negara kesatuan yang berlandaskan hukum. Negara memiliki tugas dan tanggung
jawab untuk memelihara kehidupan yang aman, damai, dan sejahtera serta ikut
secara aktif memelihara perdamaian dunia. Untuk mencapai tujuan tersebut
pemerintah wajib memelihara, menegakkan kedaulatan dan melindungi setiap warga
negaranya. Dalam Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 disebutkan bahwa “Negara mengakui
dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau
bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang”.
Selanjutnya
pada ayat (2) menyebutkan “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, sebagaimana diatur dalam undang-undang”.[13]
Sejak
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah,
yang merupakan koreksi atas penyelenggaraan otonomi daerah selama periode
1999-2004, meskipun ada daerah pemekaran baru yang berhasil, rupanya lebih
banyak daerah baru yang kurang berhasil. Sementara dalam praktek ketatanegaraan
ide Pemekaran Wilayah, pada dasarnya merupakan respon dari perubahan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara Indonesia pasca reformasi.
Pemekaran
Wilayah pada dasarnya bertujuan untuk peningkatan pelayanan (service delivery) Pemerintah Daerah (local government) kepada masyarakat,
agar lebih efisien dan efektif terhadap potensi, kebutuhan maupun karakteristik
di masing-masing daerah. Dengan demikian adanya pemekaran wilayah seharusnya
akan membuat suatu daerah menjadi semakin terbuka, jalur pengembangannya lebih
luas, tersebar ke seluruh wilayah.
Pemerintah Pusat merumuskan Peraturan
Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 berkeinginan untuk mencari Daerah Otonom Baru
(DOB) yang dapat mandiri. Beberapa indikator telah dipersiapkan untuk mengukur
kemampuan calon Daerah Otonom Baru. Meskipun begitu, sebagian dari pemerintah
daerah ada yang memiliki pandangan yang berbeda. Mereka melihat Pemekaran
Wilayah sebagai wahana untuk secara cepat keluar dari kondisi keterpurukan
ekonomi. Sayangnya, secara umum, DOP ternyata tidak mampu menciptakan kondisi
yang lebih baik dibandingkan daerah induknya.
Dalam
dimensi hukum sebenarnya proses pemekaran sudah diperketat dan diharuskan untuk
dilaksanakan secara selektif. Semangat itu dituangkan dalam perubahan Peraturan
Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 dengan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007
Tentang Tata Cara Pembentukan Daerah Baru.
Terdapat
beberapa perbedaan antara peraturan lama dengan peraturan yang baru dalam
masalah pemekaran. Dalam peraturan lama, daerah yang baru dimekarkan dapat
secara langsung dimekarkan lagi. Perubahan lain jika sebelumnya untuk
pembentukan Propinsi minimal hanya empat Kabupaten/Kota dan untuk pembentukan
Kabupaten baru sebelumnya minimal hanya empat Kecamatan, pembentukan Kota
syaratnya minimal hanya tiga Kecamatan menjadi minimal empat Kecamatan. Dari
keterengan di atas itulah yang menjadi alasan masyarakat untuk melalukan
pemekaran daerah baru.
BAB III
PENUTUP
C. KESIMPULAN
Pertama, pemekaran Daerah Otonomi Baru
(DOB) sebagai bagian dari otonomi daerah yang memuat sejumlah tujuan mulai
dari: efisiensi dan efektivitas sistem pemerintahan, otonomi fiskal sebagai
bagian dari kemandirian anggaran, konsolidasi demokrasi politik menuju keadaban
politik yang mapan, penyebaran keadilan distributive sebagai syarat mensejahterakan
masyarakat, ternyata masih belum memenuhi harapan. Karenanya, secara normatif
preferensi dari setiap Pemekaran Daerah Otonomi Baru harus dikembalikan pada empat
pilar: UUD 1945, Pancasila, Bhennika Tunggal Ika dan NKRI.
Kedua, dalam perspektif hukum, UUD 1945
yang seharusnya menjadi rujukan utama setiap pembuatan UU, Permen, Perda, dan
legislasi lainnya belum terjadi secara optimal. Banyaknya Perda yang dibatalkan
Mahkamah Konstitusi memberikan gambaran paling riil, bahwa UUD 1945 masih cenderung
masih menjadi jargon dari pada pedomanan tindakan dan sumber hukum. Kuatnya kecenderungan rule of the law menjadi rule by law, memberikan gambaran betapa
tidak mudahnya melepaskan masalah hokum dari cengkrama politik. Reformasi yang
memberikan kebebasan melampaui batas yang dibutuhkan, telah membuat politik
benar-benar menjadi panglima. Hukum yang seharusnya menjadi elemen tertinggi
yang independen dalam menjaga keadilan cenderung menjadi produk pertarungan
kepentingan politik. Akibatnya, setiap penegakan hukum tidak dengan sendirinya
berarti penegakan keadilan. Penegakan hukum baru sebatas menegakan prodedur dan
bukan menegakan subtansi keadilan. Dalam ekologi seperti ini tidak mengherankan
jika produk hukum yang lahir dalam pemekaran daerah cenderung sebagai
legitimasi yang konsiderannya lepas dari
semangat menegakan keadilan dan mensejahterakan rakyat. Sementara itu,
penetapan hukum tentang rancangan besar (grand
design) sepenuhnya menjawab permasalahan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Tekanan elit politik di DPR (terhadap pemerintah), yang mempunyai fungsi
legislasi, sangat besar dalam pemekaran daerah atau pembentukan DOB. Karenanya,
payung hukum yang komprehensif yang mempertimbangan semua aspek (poleksusbudhankan)
perlu segera dirumuskan.
Ketiga, dalam perspektif politik
perbedaan ikatan primordial, yang seharusnya menjadi kekayaan budaya (kearifan
lokal) yang berfungsi sebagai penegasan identitas lokal dan perekat kohesi
sosial, cenderung dimanipulasi sebagai kepentingan jangka pendek (penggalangan
suara), yang menyisakan konflik horizontal yang tidak produktif dan lepas dari
prinsip “Bhennika Tunggal Ika”. Akibatnya prinsip berbeda-beda tetapi tetap
satu, yang seharusnya dijadikan rujukan utama dalam setiap mengelola perbedaan ikatan
primordial, malah dijadikan pembenaran untuk mengobarkan konflik. Karenanya
evaluasi politik yang diperlukan: bagaimana agar setiap pemekaran daerah
memprioritaskan unsur-unsur terpenting pada penghargaan terhadap perbedaan dan
melakukan politik tanpa diskriminatif, khususnya terhadap kelompok minoritas.
Keempat,
dalam perspektif anggaran yang menjadi isu penting dalam otonomi daerah,
ternyata masih jauh dari semangat kemandirian. Besarnya sumber dana dari APBN
dan kecilnya PAD (Pendapatan Asli daerah) yang diestimasikan, membuat pemekaran
cenderung memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap pusat. Pendapatan Asli
Daerah yang seharusnya menjadi tumpuhan dari otonomi fiskal, masih jauh dari
harapan.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah Rozali, Pelaksanaan Otonomi
Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta. 2007.
Abdullah
Rozali, Pelaksanaan Otonomi Luas dan Isu
Federalisme Sebagai Suatu Alternatif, Jakarta, Raja Grafindo, 2002.
H. A. W. Widjaja, Penyelenggaraan Otonomi Daerah di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2005.
Koirudin,
Sketsa Kebijakan Desentralisasi di
Indonesia, Format Masa Depan Otonomi Menuju Kemansirian Daerah. Malang.
Averroes Press. 2005.
Manan
Bagir, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Yogyakarta,
Cetakan Pertama, Pusat Studi Hukum UII. 2005.
Ratnawati
Tri, “Pemekaran Daerah: Politik Lokal dan
Beberapa Isu Terseleksi”. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. 2009.
Sunarno Siswanto,
Hukum Pemerintahan Daerah, Jakarta:
Sinar Grafika. 2005.
Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 1 ayat (5).
Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004, Pasal 1.
Pasal
4 Ayat (3) UU Pemda.
Pasal
1 Angka 10 PP No. 78/07.
UU
Nomor 32 Tahun 2004, Pasal 4.
[1] Tri Ratnawati, “Pemekaran Daerah: Politik Lokal dan Beberapa
Isu Terseleksi”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009, hlm: 1.
[2] Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Yogyakarta, Cetakan Pertama,
Pusat Studi Hukum UII, 2005, hlm: 59.
[3] Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 1 ayat (5).
[4] Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah, Jakarta:
Sinar Grafika. 2005 hlm: 122.
[5] H. A. W. Widjaja, Penyelenggaraan Otonomi Daerah di Indonesia,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005, hlm, 17.
[6] Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas dan Isu Federalisme
Sebagai Suatu Alternatif, Jakarta, Raja Grafindo, 2002, hlm: 81.
[7] Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004, Pasal 1.
[8] Koirudin, Sketsa Kebijakan Desentralisasi di Indonesia, Format Masa Depan Otonomi
Menuju Kemansirian Daerah. Malang. Averroes Press. 2005, hlm: 7.
[9] Pasal 4 Ayat (3) UU Pemda.
[10] Pasal 1 Angka 10 PP No. 78/07.
[11] UU Nomor 32 Tahun 2004, Pasal 4.
[12]Rozali
Abdullah, 2007, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara
Langsung, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 11-12.
[13]
Sekretariat Jenderal
Departemen Pertahanan, Biro Hukum, Himpunan Perundang undangan Yang Terkait
Dengan Penyelenggaraan Dan Pongelolaan Pertahanan. Jakarta, Tahun 2007, hal.
11.
No comments:
Post a Comment