Tuesday, June 3, 2014

Tata cara pembentuan DOB



BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Pemerintah daerah sejak Era reformasi telah mendapatkan satu tanggung jawab lebih besae dari msa sebelumnya untuk mengatur urusan daerah, hal itu dimungkinkan dengan adanya upaya dari pemerintah pusat untuk mengimplikasikan makna desentralisasi sebagaimana diamanatkan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) dan (2) UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, daerah yang tidak mampu menyelenggarakan Otonomi Daerah dapat dihapus dan digabung dengan daerah lain, dan Daerah Otonom dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah jika dipandang sesuai dengan perkembangan daerah. Munculnya gejala, bahkan kenyataan akan adanya pemekaran dan pembentukan Kabupaten, Kota, dan Propinsi baru di Indonesia menuntut perlunya segera ditetapkan syarat-syarat dan kriteria yang menjadi pertimbangan di dalam pembentukan dan pemekaran daerah.
     Desentralisasi dinilai menjadi antitesis dari ajaran dalam pengelolahan pemerintahan, sebagai sebuah konsep penyelenggaraan pemerintahan, desentralisasi menjadi pilihan akibat ketidakmungkinan sebuah negara dengan wilayah yang luas dan berpenduduk banyak untuk mengelola manajemen pemerintah secara sentralistik[1].
     Penerapan sistem desentralisasi dengan seiring jalannya waktu Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintah daerah dinilai sangat lemah dari segi kebijakan dan implementasi, sehingga akhirnya pemerintah merevisi Undang-undang tersebut, menjadi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, dalam undang-undang, in pula diatur mengenai pemelihan Kepala Daerah secara langsung, hingga saat ini regulasi terkait mengenai pemilihan daerah  telah melalui beberapa kali perubahan meskipun perubahan tersebut bersifat persial, perubahan yang terakhir adala Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah.
     Terlepas dari semua problematika yang ada dan memberikan warna dari mulai peraturan hingga kebijakan. Peraturan pemerintah daerah sejak, masa awal reformasi membuat geliat daerah semakin aktif, daerah-daerah yang paling pada masa orde baru terbikiri karena system sentralisasi kini mulai bergarak untuk mendapatkan hak-haknya, dengan menggunakan aksi yang paling riil menggunakan ‘senjata’ otonomi daerah, menuntut pemerintah pusat memberikan sepenuhnaya kewenangan untuk mengurusi daerahnya sendiri. Hingga yang paling kliamks adalah masyarakat yang menuntut pemerintah merestui pemekaran daerah untuk melakukan pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB).

1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, meka penyusun merumuskan pokok masalah, yaitu sebagai berikut:
1.   Bagaimana tata cara pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB)?
2.   Kenapa ada tuntuntan pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB)?

1.3. Tujuan Masalah
1.      Untuk jawaban Ujian Akhir Semester.
2.      Untuk Mengetahui tata cara pembentukan Daerah Otonom Baru.
3.      Untuk Mengetahui tuntutan dalam pembentukan Daerah Otonom Baru.

1.4. Kerangka Teoritik
1. Teori Otonomi Daerah
   Menurut Bagir Manan, otonomi daerah mempunyai dua arti pertama, dalam arti formal otonomi daerah diperlukan dalam rangka memperluas partisipasi masyarakat dalam pemerintahan. Kedua, dalam arti materiil otonomi daerah mengandung makna sebagai usaha mewujudakan kesejahteraan yang bersanding dengan prinsip Negara kesejahteraan dan system pemencaran kekuasaan menurut dasar Negara berdasarkan atas hukum[2].
   Menurut pasal 1 ayat (5) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004. Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.[3]
   Prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan, peran serta, prakarsa, dan pemberdaya masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakat.[4]
   Sedangkan, tujuan otonomi daerah adalah mencapai efektifitas dan efesiensi dalam peleyanan masyarakat sehingga tujuan yang diharapkan dapat menumbuhkembangkan daerah dalam berbagai bidang, meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, menumbuhkan kemandirian daerah dan meningkatkan daya saing daerah dalam proses pertumbuhan.[5]
2.      Teori Pembentukan Daerah
a.    Pembentukan Daerah di Indonesia
Indonesia merupakan Negara yang menganut bentuk Negara kesatuan. Menurut C.F. Strong Negara kesatuan ialah berbentuk Negara dimana wewenang legislatif tertinggi dipusatkan dalam satu badan legislatif nasional/pusat. Kekuasaan terletak pada pemerintahan pusat dan tidak pada pemerintahan daerah.
Miriam Budirdjo, berpendapat bahwa pemerintah pusat mempunyai wewenang untuk menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada daerah berdasarkan hak otonomi (Negara kesatuan dengan system desentralisasi).[6]

b.   Desentalisasi
Dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah pasal 1 disebutkan bahwa desantralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan dalam kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus pemerintahan dalam system Negara Kesatuan Republik Indonesia.[7]
c.       Pengembangan Wilayah
Polarization effect dan Trickle down effect. Teori tersebut mengungkapkan pendapat bahwa perkembangan suatu wilayah tidak terjadi secara bersamaan. Dalam teori ini terdapat system polarisasi perkembangan suatu wilayah yang kemudian akan memberikan efek ke wialayah berkembang ke wilayah lainnya, atau dengan kata lain, suatu wilayah yang berkembang akan membuat wilayah di sekitarnya akan ikut berkembang.[8]





BAB II
PEMBAHASAN

2.1.   Tata Cara Pembentukan Daerah Otonom Baru
      Dilihat dari segi regulasi, pemekaran daerah diberi peluang oleh pemerintahan Orde Baru dan pasca Orde Baru. Perbedaannya terletak pada proses pengusulan pemekaran. Di masa Orde Baru pemerintah pusat mempunyai peran yang besar untuk menyiapkan pembentukan daerah otonom (dari ibu kota Kecamatan, menjadi Kota Administratif lalu Kota Madya) dan menginisiasi pembentukannya. Di masa pasca Orde Baru, regulasi yang ada menekankan pada usulan daerah untuk memekarkan diri dalam rangka membentuk daerah otonom baru. Namun pun demikian, regulasi yang ada berusaha untuk menyaring usulan pemekaran dengan mempertimbangkan kapasitas daerah yang akan dibentuk. Selain itu, bukan hanya pemekaran yang dimungkinkan. Tetapi penggabungan beberapa daerah menjadi satu daerah otonompun diberi peluang.
        Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya ditulis UU Pemda), pembentukan daerah pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Pembentukan daerah dapat berupa pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih, atau penggabungan bagian daerah yang bersandingan, atau penggabungan beberapa daerah.[9] Pemekaran daerah adalah pemecahan provinsi atau kabupaten/kota menjadi dua daerah atau lebih. Sementara dalam prakteknya sampai dengan tahun 2008, Indonesia belum pernah mempunyai pengalaman penggabungan daerah.  Sebelumnya, tata cara pembentukan, penghapusan, dan penggabungan daerah yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 diganti Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah (selanjutnya ditulis PP 78/07). Dalam PP 78/07 mengatur mengenai proses pembentukan daerah yang didasari pada 3 (tiga) persyaratan, yakni administratif, teknis, dan fisik kewilayahan.[10]
1.       Persyaratan administratif didasarkan atas aspirasi sebagian besar masyarakat.
2.       Persyaratan secara teknis didasarkan pada faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Adapun faktor lain tersebut meliputi pertimbangan kemampuan keuangan, tingkat kesejahteraan masyarakat, dan rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan.
3.       Persyaratan fisik kewilayahan dalam pembentukan daerah meliputi cakupan wilayah, lokasi calon ibukota, sarana, dan prasarana pemerintahan. Syarat fisik yang dimaksud harus meliputi paling sedikit lima kabupaten/kota untuk pembentukan provinsi dan paling sedikit lima kecamatan untuk pembentukan kabupaten, dan empat kecamatan untuk pembentukan kota.[11]
        Dengan persyaratan dimaksud diharapkan agar daerah yang baru dibentuk dapat tumbuh, berkembang dan mampu menyelenggarakan otonomi daerah dalam rangka meningkatkan pelayanan publik yang optimal guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat dan dalam memperkokoh keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam pembentukan daerah, tidak boleh mengakibatkan daerah induk menjadi tidak mampu menyelenggarakan otonomi. daerah, sehingga tujuan pembentukan daerah dapat terwujud dengan dilengkapi dengan kajian .
         Dalam bukunya Rozali Abdullah[12], menyatakan bahwa syarat-syarat pembentukan daerah terdiri dari syarat administratif, teknis dan fisik. Syarat administratif untuk pembentukan provinsi meliputi:
1.      persetujuan dari DPRD Kabupaten/kota dan bupati/wali kota yang akan menjadi cakupan wilayah provinsi;
2.      Persetujuan DPRD dan Gubernur provinsi induk;
3.      Rekomendasi Menteri Dalam Negeri.
         Sementara itu, syarat administrasi untuk Kabupaten/kota meliputi adanya;
1.      Persetujuan dari DPRD Kabupaten/kota dan bupati/wali kota yang bersangkutan;
2.      Persetujuan DPRD provinsi dan Gubernur;
3.      Rekomendasi Menteri Dalam Negeri.
         Syarat teknis meliputi faktor yang menjadi dasar pembentukan daerah yang mencakup faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, social, olitik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Syarat fisik meliputi:
1.        paling sedikit lima Kabupaten/kota untuk pembentukan Kabupaten kota; 
2.        Paling sedikit lima kecamatan untuk pembentukan Kabupaten;
3.        paling sedikit empat kecamatan untuk pembentukan kota;
4.        lokasi calon kota, sarana prasarana pemerintah.


2.1.   Tuntuntan Pembentukan Daerah Otonom Baru
Karena didalam Pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa negara Republikndonesia adalah negara kesatuan yang berlandaskan hukum. Negara memiliki tugas dan tanggung jawab untuk memelihara kehidupan yang aman, damai, dan sejahtera serta ikut secara aktif memelihara perdamaian dunia. Untuk mencapai tujuan tersebut pemerintah wajib memelihara, menegakkan kedaulatan dan melindungi setiap warga negaranya. Dalam Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 disebutkan bahwa “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang”.
Selanjutnya pada ayat (2) menyebutkan “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagaimana diatur dalam undang-undang”.[13]
Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, yang merupakan koreksi atas penyelenggaraan otonomi daerah selama periode 1999-2004, meskipun ada daerah pemekaran baru yang berhasil, rupanya lebih banyak daerah baru yang kurang berhasil. Sementara dalam praktek ketatanegaraan ide Pemekaran Wilayah, pada dasarnya merupakan respon dari perubahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia pasca reformasi.
Pemekaran Wilayah pada dasarnya bertujuan untuk peningkatan pelayanan (service delivery) Pemerintah Daerah (local government) kepada masyarakat, agar lebih efisien dan efektif terhadap potensi, kebutuhan maupun karakteristik di masing-masing daerah. Dengan demikian adanya pemekaran wilayah seharusnya akan membuat suatu daerah menjadi semakin terbuka, jalur pengembangannya lebih luas, tersebar ke seluruh wilayah.

        Pemerintah Pusat merumuskan Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 berkeinginan untuk mencari Daerah Otonom Baru (DOB) yang dapat mandiri. Beberapa indikator telah dipersiapkan untuk mengukur kemampuan calon Daerah Otonom Baru. Meskipun begitu, sebagian dari pemerintah daerah ada yang memiliki pandangan yang berbeda. Mereka melihat Pemekaran Wilayah sebagai wahana untuk secara cepat keluar dari kondisi keterpurukan ekonomi. Sayangnya, secara umum, DOP ternyata tidak mampu menciptakan kondisi yang lebih baik dibandingkan daerah induknya.
Dalam dimensi hukum sebenarnya proses pemekaran sudah diperketat dan diharuskan untuk dilaksanakan secara selektif. Semangat itu dituangkan dalam perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 dengan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pembentukan Daerah Baru.
Terdapat beberapa perbedaan antara peraturan lama dengan peraturan yang baru dalam masalah pemekaran. Dalam peraturan lama, daerah yang baru dimekarkan dapat secara langsung dimekarkan lagi. Perubahan lain jika sebelumnya untuk pembentukan Propinsi minimal hanya empat Kabupaten/Kota dan untuk pembentukan Kabupaten baru sebelumnya minimal hanya empat Kecamatan, pembentukan Kota syaratnya minimal hanya tiga Kecamatan menjadi minimal empat Kecamatan. Dari keterengan di atas itulah yang menjadi alasan masyarakat untuk melalukan pemekaran daerah baru.










BAB III
PENUTUP

C. KESIMPULAN
        Pertama, pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB) sebagai bagian dari otonomi daerah yang memuat sejumlah tujuan mulai dari: efisiensi dan efektivitas sistem pemerintahan, otonomi fiskal sebagai bagian dari kemandirian anggaran, konsolidasi demokrasi politik menuju keadaban politik yang mapan, penyebaran keadilan distributive sebagai syarat mensejahterakan masyarakat, ternyata masih belum memenuhi harapan. Karenanya, secara normatif preferensi dari setiap Pemekaran Daerah Otonomi Baru harus dikembalikan pada empat pilar: UUD 1945, Pancasila, Bhennika Tunggal Ika dan NKRI.
        Kedua, dalam perspektif hukum, UUD 1945 yang seharusnya menjadi rujukan utama setiap pembuatan UU, Permen, Perda, dan legislasi lainnya belum terjadi secara optimal. Banyaknya Perda yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi memberikan gambaran paling riil, bahwa UUD 1945 masih cenderung masih menjadi jargon dari pada pedomanan tindakan dan  sumber hukum. Kuatnya kecenderungan rule of the law menjadi rule by law, memberikan gambaran betapa tidak mudahnya melepaskan masalah hokum dari cengkrama politik. Reformasi yang memberikan kebebasan melampaui batas yang dibutuhkan, telah membuat politik benar-benar menjadi panglima. Hukum yang seharusnya menjadi elemen tertinggi yang independen dalam menjaga keadilan cenderung menjadi produk pertarungan kepentingan politik. Akibatnya, setiap penegakan hukum tidak dengan sendirinya berarti penegakan keadilan. Penegakan hukum baru sebatas menegakan prodedur dan bukan menegakan subtansi keadilan. Dalam ekologi seperti ini tidak mengherankan jika produk hukum yang lahir dalam pemekaran daerah cenderung sebagai legitimasi  yang konsiderannya lepas dari semangat menegakan keadilan dan mensejahterakan rakyat. Sementara itu, penetapan hukum tentang rancangan besar (grand design) sepenuhnya menjawab permasalahan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tekanan elit politik di DPR (terhadap pemerintah), yang mempunyai fungsi legislasi, sangat besar dalam pemekaran daerah atau pembentukan DOB. Karenanya, payung hukum yang komprehensif yang mempertimbangan semua aspek (poleksusbudhankan) perlu segera dirumuskan.
        Ketiga, dalam perspektif politik perbedaan ikatan primordial, yang seharusnya menjadi kekayaan budaya (kearifan lokal) yang berfungsi sebagai penegasan identitas lokal dan perekat kohesi sosial, cenderung dimanipulasi sebagai kepentingan jangka pendek (penggalangan suara), yang menyisakan konflik horizontal yang tidak produktif dan lepas dari prinsip “Bhennika Tunggal Ika”. Akibatnya prinsip berbeda-beda tetapi tetap satu, yang seharusnya dijadikan rujukan utama dalam setiap mengelola perbedaan ikatan primordial, malah dijadikan pembenaran untuk mengobarkan konflik. Karenanya evaluasi politik yang diperlukan: bagaimana agar setiap pemekaran daerah memprioritaskan unsur-unsur terpenting pada penghargaan terhadap perbedaan dan melakukan politik tanpa diskriminatif, khususnya terhadap kelompok minoritas.
        Keempat,  dalam perspektif anggaran yang menjadi isu penting dalam otonomi daerah, ternyata masih jauh dari semangat kemandirian. Besarnya sumber dana dari APBN dan kecilnya PAD (Pendapatan Asli daerah) yang diestimasikan, membuat pemekaran cenderung memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap pusat. Pendapatan Asli Daerah yang seharusnya menjadi tumpuhan dari otonomi fiskal, masih jauh dari harapan.







DAFTAR PUSTAKA

        Abdullah Rozali, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2007.
Abdullah Rozali, Pelaksanaan Otonomi Luas dan Isu Federalisme Sebagai Suatu Alternatif, Jakarta, Raja Grafindo, 2002.
        H. A. W. Widjaja, Penyelenggaraan Otonomi Daerah di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005.
Koirudin, Sketsa Kebijakan Desentralisasi di Indonesia, Format Masa Depan Otonomi Menuju Kemansirian Daerah. Malang. Averroes Press. 2005.
Manan Bagir, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Yogyakarta, Cetakan Pertama, Pusat Studi Hukum UII. 2005.
Ratnawati Tri, “Pemekaran Daerah: Politik Lokal dan Beberapa Isu Terseleksi”. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. 2009.
Sunarno Siswanto, Hukum Pemerintahan Daerah, Jakarta: Sinar Grafika. 2005.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 1 ayat (5).
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, Pasal 1.
Pasal 4 Ayat (3) UU Pemda.
Pasal 1 Angka 10 PP No. 78/07.
UU Nomor 32 Tahun 2004, Pasal 4.
       




[1] Tri Ratnawati, “Pemekaran Daerah: Politik Lokal dan Beberapa Isu Terseleksi”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009, hlm: 1.
[2] Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Yogyakarta, Cetakan Pertama, Pusat Studi Hukum UII, 2005, hlm: 59.
[3] Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 1 ayat (5).
[4] Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah, Jakarta: Sinar Grafika. 2005 hlm: 122.
[5] H. A. W. Widjaja, Penyelenggaraan Otonomi Daerah di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005, hlm, 17.
[6] Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas dan Isu Federalisme Sebagai Suatu Alternatif, Jakarta, Raja Grafindo, 2002, hlm: 81.
[7] Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, Pasal 1.
[8] Koirudin, Sketsa Kebijakan Desentralisasi di Indonesia, Format Masa Depan Otonomi Menuju Kemansirian Daerah. Malang. Averroes Press. 2005, hlm: 7.
[9] Pasal 4 Ayat (3) UU Pemda.
[10] Pasal 1 Angka 10 PP No. 78/07.
[11] UU Nomor 32 Tahun 2004, Pasal 4.
[12]Rozali Abdullah, 2007, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 11-12.  
[13] Sekretariat Jenderal Departemen Pertahanan, Biro Hukum, Himpunan Perundang undangan Yang Terkait Dengan Penyelenggaraan Dan Pongelolaan Pertahanan. Jakarta, Tahun 2007, hal. 11.

No comments: